Selasa, 11 Oktober 2011

GARUDA ACEH : SOMASI SBY GAGAL RAWAT PERDAMAIAN

Pernyataan Sikap Politik
Koalisi Aksi GARUDA ACEH (Gerakan Revolusi Damai Aceh)

GARUDA ACEH
SOMASI SBY GAGAL RAWAT PERDAMAIAN

Konstekstualisasi politik dan perdamaian Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia kini memasuki babak baru. Pemerintah Pusat mengambil sikap adu domba terhadap kepastian pelaksanaan Pemilukada Aceh. Jika pada periode pertama tahun 2006 pasca perdamaian Pemerintah Pusat sangat kooperatif namun berbeda dengan periode kedua ini dilakonkan penuh intriks dan kemunafikan. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) jelas sekali sebagai upaya menjebak sesama elit dalam arus konflik baik di Jakarta maupun di Aceh, bahkan pasca keputusan MK itu terkesan didesain secara sistemik dan meluas agar munculnya konflik laten sesama Rakyat Aceh sendiri.

Ironisnya, kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang secara resmi dan tegas menolak keputusan MK semakin terbukti konflik sedang disemai kembali. Malahan lembaga politik ini, khususnya Partai Aceh (PA) yang lahir dari rahim MoU Helsinki dan UUPA dituduh pemicu “konflik regulasi”. Semestinya publik adil dan arif menilai apakah MK atau DPRA pemicu konflik laten yang kini mengancam NKRI. Yang pasti keputusan MK sebenarnya upaya kudeta terhadap MoU dan upaya sabotase terhadap UUPA. DPRA secara akal sehat khususnya PA sejak awal tidak serta merta dapat menerima keputusan MK.

PA tentu sangat berkepentingan dan berkewajiban secara moral dan politik meletakkan logika perdamaian pada koridor yang benar agar kewenangan dan kekhusussan Aceh tidak dicabut satu demi satu di kemudian hari. Niat tulus agar tidak terulang kembali “Ikrar Lamteh” diputarbelitkan seolah-olah PA mempertajam perbedaan dengan Jakarta. Sebaliknya mata publik menghina dan menuduh PA bernafsu besar dan menghalalkan segala cara merebut kekuasaan. Namun dengan penuh kesabaran dan jiwa besar PA kami nilai menunjukkan kedewasaan politiknya. Kunjungan, undangan pertemuan dan atau rapat-rapat koordinasi yang dilakonkan para pihak (terutama Deputi Kemenko Polhukam dan Dirjen Otda Kemendagri) dijalani dengan penuh kesabaran.

Namun, selalu saja PA dibenturkan dengan persoalan calon perseorangan dan ketika pertemuan demi pertemuan gagal mencapai kesepakatan maka menyakitkan sekali PA dituduh anti demokrasi. KIP pula dengan sangat tergesa-gesa sejak awal terus memprovokasi keadaan bahkan disaat mantan elit GAM bertemu Presiden SBY. Sampai pada pertemuan terakhir dengan tiga agenda penyelesaian konflik regulasi sebenarnya cukup demokratis namun pilihan DPRA (referesentasi PA) tidak mampu dilogikakan dengan benar. Pilihan tunda Pemilukada dan perlunya diangkat Plt Gubernur semakin membuat para pihak mengumbar prasangka dan kedengkian kepada PA.

Selanjutnya, ketika berharap budi baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mesti kita akui tanpa beliau dan Jusuf Kalla (wakilnya pada periode sebelumnya) telah sangat berjasa mewujudkan perdamaian Aceh. Tragisnya Presiden SBY tidak mendapat input yang benar terhadap perkembangan terkini di Aceh sehingga harapan konflik regulasi dengan arif dan bijaksana dapat diselesaikan meminta pertimbangan SBY dengan sombong dijawab tak berwenang menunda Pemilukada (Serambi Indonesia, 7-8/10/2011).

Akhirnya, PA pada kesimpulan tidak akan mendaftar ikut Pemilukada karena subtansi yang dibicarakan selama berbulan-bulan tidak mendapat pertimbangan secara mendalam. PA tetap dibenturkan dengan persoalan penolakan calon perseorangan. Titik tolak dan argumentasi yang selalu berpangkal pada soal calon perseorangan mengindikasikan publik selama ini gagal memahami perdamaian dan demokrasi subtantif yang ingin dikembangkan PA untuk menjaga Aceh tetap dalam bingkai NKRI. Oleh karena tidak adanya penyelesaian arif dan bijaksana dari Pemerintah Pusat maka kami komponen sipil rakyat Aceh menyerukan “GERAKAN REVOLUSI DAMAI”, dan dengan ini pula kami mengkonsolidasikan diri dan mendeklarasikan Koalisi Aksi GARUDA ACEH (Gerakan Revolusi Damai Aceh), serta menyatakan sikap politik sebagai berikut :

1. Bahwa intriks dan kemunafikan Pemerintah Pusat selama ini semakin membuktikan ada kesengajaan mengelola konflik regulasi sebagai upaya mempermalukan Partai Aceh di mata rakyatnya sendiri dan mengiring konflik laten horizontal sesama elit Aceh.
2. Konflik regulasi sengaja dijadikan sebagai instrumens melemahkan perdamaian secara sistemik sehingga pada akhirnya kewenangan dan kekhusussan Aceh sesuai MoU dan UUPA tidak pernah dapat diwujudkan dengan sempurna dan seutuhnya.
3. Mengikuti perkembangan dengan seksama dan menimbang sikap SBY yang menyatakan tidak punya kewenangan menunda Pilkada dan melihat kemunafikan yang dilakonkan Partai Demokrat terbukti “MoU dan UUPA telah disabotase dan dikudeta” sesuai selera dan kepentingan politik pragmatisme.
4. Kenyataan tersebut tidak bisa diterima oleh segenap rakyat Aceh yang masih menghendaki perdamaian abadi berlangsung di bumi warisan endatu ini. Presiden SBY tidak memahami sikap DPRA (referentasi Partai Aceh) yang menghendaki pelaksanaan demokrasi dan perdamaian Aceh ke depan lebih subtantif dan sekaligus ingin membuktikan sungguh-sungguh dengan real objektif mengintegrasikan diri dalam bingkai NKRI.
5. Karena itu, kami memandang PA sudah pada posisi yang rasional untuk membela hak-hak politik rakyat Aceh. Sungguh sangat kita sayangkan mengapa situasi politik dan perdamaian Aceh akhirnya berujung seperti sekarang ini. Sepertinya Prisiden SBY memang dengan sengaja mensabotase dan mengkudeta perdamaian yang digagasnya enam tahun lalu. Sungguh ini satu tragedi bagi SBY karena ia pada akhirnya mereproduksi kembali konflik laten yang dapat mengancam disintegrasi Aceh dalam bingkai NKRI

Realitas objektif tersebut maka kami menuntut Presiden SBY untuk segera mengadakan pertemuan tinggkat tinggi. Ini penting kami sarankan demi mencegah hancurnya perdamaian dan disintegrasi bangsa yang susah payah kita jaga bersama selama ini. Presiden SBY dengan segera mengajak para pihak yang menandatangani perjanjian enam tahun lalu untuk kembali duduk bersama dengan tujuan mengikat konsesnsus atau rekomitmen perdamaian.

Bahwa jika Presiden SBY masih bersikap dungu dan berperilaku politik muka dua seperti sekarang ini maka Koalisi Aksi GARUDA ACEH (Gerakan Revolusi Damai Aceh) mensomasi sebagai berikut :

Pertama, meminta Presiden SBY segera menyatakan sikap resmi terkait konflik regulasi Pemilukada Aceh. Kami sangat berharap Presiden SBY bersikap arif dan bijaksana serta berkomitmen tinggi menjaga perdamaian Aceh. Atas jasa-jasanya merintis damai Aceh sangat layak SBY dinobatkan dunia sebagai kandidat penerima “nobel perdamaian” di masa akan datang.

Kedua, meminta masyarakat dunia terus memantau perdamaian Aceh, terutama pihak ketiga CMI (Crisis Management Initiatif) untuk bersikap terkait semakin memanasnya konflik regulasi Pemilukada. Kami berharap CMI segera memanggil para pihak untuk rekomitmen Perdamaian MoU Helsinki dan UUPA dijalankan sempurna dan seutuhnya.

Ketiga, mohon dukungan dan solidaritas seluruh rakyat Indonesia agar menuntut pengunduran SBY sebagai Presiden Republik Indonesia jika sikap dan perilaku politiknya menghancurkan perdamaian dan keutuhan Aceh dalam bingkai NKRI.


Lhokseumawe, 10 Oktober 2011
Koalisi Aksi GARUDA ACEH
(Gerakan Revolusi Damai Aceh)

Dto                                                   dto
Herlin                                               Ahmad Refki
Koordinator                                      Juru Bicara (085262721512)


Gabungan Koalisi Aksi GARUDA ACEH terdiri dari lembaga-lembaga berikut :

1. KPP (Komite Pemuda Pase)
2. KMPA (Komite Mahasiswa Pemuda Aceh) Aceh Utara
3. GEMPA (Gerakan Mahasiswa Pasee)
4. YABAN (Yayasan Bina Aneuk Nanggroe)
5. LUAS (Lembaga Ureung Ineung Samudera Pasee)
6. LSM RIKANDI
7. LSM PUTROE ACEH
8. KEUMALA (Kesatuan Mahasiswa Kota Lhokseumawe)
9. LSM EPC
10. LSM RAMPAGOE
11. LSM LEUKAT
12. LSM MUDA SAMUDERA
13. LSM GEUPESAPA
14. LSM IMPAU
15. IKAPEDA (Ikatan Pemuda Aceh)
16. LSM SIPLOH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar