Sabtu, 25 Juni 2011

Sekolah Berstandar Internasional (SBI) di Kota Lhokseumawe Patut Dipertanyakan Efektivitasnya

Program SBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada siswa. Program SBI menjadikan sekolah yang mengikutinya menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa membuat sekolah-sekolah SBI ini tidak dapat dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial di sekolah. Sekolah publik yang biayai oleh rakyat melalui Negara tidak boleh berprilaku seperti sekolah swasta. Hal ini juga akan menimbulkan kekecewaan dan kemarahan dalam hati para orang tua kalangan bawah yang tidak mampu masuk ke dalam sekolah eksklusif ini. Mereka akan merasa sengaja dipinggirkan dalam sebuah sistem pendidikan yang dianggap ‘terbaik’ dan yang akan menjamin masa depan anak-anak mereka. Kekecewaan dan rasa frustrasi yang menumpuk akan dapat meledak jika telah mencapai kulminasinya juga.

Salah satu kritik terbesar tentang SBI ini adalah bahwa program ini telah memberi legitimasi kepada sekolah untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan justru oleh pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya secara gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini adalah pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan negara. Saat ini sekolah-sekolah publik RSBI bahkan telah menjadi lebih swasta dari swasta dalam memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah RSBI menarik dana dari masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat mereka adalah sekolah publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ‘haram’ sifatnya menjadi komersial. Seperti hasil dari investigasi yang telah kami lakukan pada salah satu sekolah negeri unggul di Kota Lhokseumawe, sebagai contoh SMA Negeri 1 Lhokseumawe yang mengutip biaya SPP/bulan sebesar Rp 150.000 belum lagi biaya pembangunan bagi siswa yang baru masuk sekolah yang mencapai jutaan rupiah. Ditingkat sekolah menengah juga tidak kalah ketinggalannya mengutip biaya SPP dengan jumlah selangit, seperti SMP Negeri 1 Lhokseumawe yang membebankan biaya SPP/bulan sebesar Rp 100.000.

Disisi lain aneh memang jika kita melihat Pemerintah telah menetapkan Wajib Belajar 9 Tahun sebagai programnya. Maka sebagai konsekuensinya semua pembiayaan pendidikan bagi siswa mulai dari pendidikan dasar maupun menengah harus dipenuhinya dan tidak boleh ada pungutan pada siswa. Pungutan pada orang tua siswa, meski melalui komite, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Sisdiknas itu sendiri. Program SBI jelas salah konsep, tidak sesuai dengan semangat nasionalisme, dan tidak sesuai untuk semua kalangan. Pemerintah perlu mengembangkan sebuah standar pendidikan yang terbaik yang bisa dicapai oleh bangsa Aceh sendiri. Kita tidak memerlukan label ‘internasional’ untuk dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

2 komentar: