Minggu, 24 April 2011

Pernyataan Sikap Aksi Gerakan Sipil Pendukung UUPA Sesuai MoU Helsinki


PERNYATAAN SIKAP

I. Latar belakang aksi

Pemerintah pusat telah mengamputasi kewenangan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006. Padahal hak mutlak itu ada di tangan Pemerintah Aceh yang telah termaktub dalam MoU Helsinki. Kondisi itu dapat dilihat yang hingga kini masih mengambang, seperti bagi hasil minyak bumi dan gas bumi Aceh, serta pembagian hasil 70 persen untuk Provinsi Aceh dan 30 persen dikembalikan Pemerintah Pusat. Namun nyatanya sampai saat ini belum terealisasi sebagai mana mestinya. Bahkan, penambahan alokasi dana bagi hasil ini merupakan pelaksanaan pasal 181 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memuat ketentuan mengenai tambahan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak hanya itu, persoalan Reintegrasi Aceh secara menyeluruh dengan amanah MoU Helsinki. Misalnya, dana diyat maupun hal terkait pengungkapan kasus pelanggaran HAM di Aceh belum di bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sekaligus Pengadilan HAM dan pembebasan Tapol dan Napol Aceh.

Sebagaimana diketahui, pasca disahkannya UUPA/UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pemerintah pusat berkewajiban menerbitkan sejumlah PP dan Perpres sebagai turunan pelaksana dari UUPA di Aceh. Di antara PP dan Perpres yang harus diterbitkan pemerintah tersebut adalah PP Pengelolaan Migas (Minyak dan Gas), Perpres tentang Penyerahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Perangkat Daerah, dan lain-lain. Termasuk amanat UUPA tentang pembentukan pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Semua PP dan Perpres tersebut berkait langsung dengan pembangunan ekonomi dan proses reintegrasi.

Pemerintah pusat juga telah mengutak atik kewenangan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006, dimana menjelang pemilihan kepala daerah, Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 tanggal 30 Desember 2010 telah menetapkan calon independen dapat menjadi peserta Pilkada Aceh di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. Keputusan MK dimaksud ditetapkan sebagai jawaban atas gugatan judicial review atas Pasal 256 UU PA yang diajukan empat orang pemohon atas nama Tami Anshar Mohd Nur, Faurizal, Zaenuddin Salam dan Hasbi Baday dengan pengacara Mukhlis Muhtar, SH. Logika hukum efek dari keputusan MK tersebut, bahwa suatu produk hukum yang baru yang mengatur satu masalah yang sama dapat membatalkan produk hukum yang lama. Dengan demikian adalah logis jika pasal yang mengatur calon independen dalam UU PA tereduksi oleh putusan MK yang mengabulkan calon independen di Aceh, meskipun kekhususan Aceh dapat terus berlangsung.

Alasan penolakan terhadap keputusan MK, dikarenakan putusan tersebut tidak mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang secara nyata telah memberikan keistimewaan penuh untuk Aceh, dimana dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) nomor 11 tahun 2006 sebenarnya juga telah mengamanahkan kepada pemerintah pusat agar setiap penerbitan produk hukum (Undang-Undang) baru atau penyesuai harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, seperti yang tercantum dalam UUPA dalam Bab Ketentuan Penutup Pasal 269 ayat 3, namun hal ini ternyata tidak dilakukan oleh Pemerintah Pusat terkait penghapusan pasal 256 UUPA, dan ini merupakan salah satu bukti Pemerintah Pusat yang mengangkangi hak-hak istimewa rakyat aceh pasca perdamaian. Sehingga dasar-dasar penolakan ini dianggap sangat jelas dan penting guna menjaga marwah kekhususan Aceh yang diperoleh pasca MoU Helsinki, jangan sampai sejarah aceh kedepan terulang kembali seperti sejarah ingkar janji Pemerintah Pusat era Soekarno terhadap Daud Beureueh. Adalah harapan semua pihak, Pilkada Aceh 2011 dapat berlangsung dengan lancar dan demokratis dengan tidak mengorbankan darah bangsa Aceh yang telah tiada. Prestasi semua elemen Aceh tersebut hendaknya tetap dipertahankan dalam melaksanakan Pilkada 2011, sehingga perdamaian Aceh yang telah dibangun sejak MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dapat tetap dipertahankan.

Terlepas dari semua itu, cuma satu hal yang harus menjadi catatan dan renungan bagi kita semua, yaitu rakyat Acehlah yang tahu dan paham benar apa yang mereka inginkan saat ini. Jangan sampai, mempertahankan polemik independen justru akan berimbas negatif bagi mereka nantinya, dan perdamaian yang sedang dinikmati saat ini jadi terancam. Dewan Perwakilan Rakyat di Aceh, seharusnya perlu menegaskan kembali komitmen pemerintah pusat dalam menjaga perdamaian di Aceh yang mengacu pada MoU Helsinki. Salah satunya adalah Pemerintah Pusat harus mengimplementasikan melalui turunan UUPA atas Perpres dan Kepres yang berdasarkan poin-poin perjanjian MoU Helsinki dan tertuang kedalam UUPA. Pemerintah Pusat maupun para elit politik yang berkepentingan jangan mengutak atik UUPA seperti salah satu Pasal calon independen adalah salah satu contohnya. Kalau tindakan tersebut dibiarkan, ke depan akan banyak lagi pasal yang dianulir MK hanya dengan gugatan elit politik melalui judicial review, sehingga kemungkinan lambat laun semua kewenangan Aceh akan dihapus. Jangan sampai Aceh sekarang ini yang sudah memiliki kewenangan yang begitu luas, sebagaimana disepakati dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dicopot lagi, digugurkan satu persatu kewenangannya. Kalau UU-PA ini rapuh atau hilang, ini yang mestinya di perjuangkan oleh semua pihak.

II. Pernyataan Sikap Aksi

Mengingat situasi politik yang terjadi di Aceh saat ini, kami yang tergabung dalam Gerakan Sipil Pendukung UUPA Sesuai MoU Helsinki menyatakan sikap :
1. Meminta kepada pemerintah pusat jangan mengutak-atik point-point MoU Helsinki yang tertuang dalam UUPA.
2. Mengecam pihak-pihak yang telah mengutak-atik semangat perdamaian sesuai dalam MoU Helsinki yang tertuang dalam UUPA demi kekuasaan semata dalam polemik calon independen.
3. Meminta kepada DPRA untuk segera menegaskan polemik politik di Aceh menjelang pemilihan kepala daerah sesuai amanah MoU Helsinki yang tertuang dalam UUPA.
4. Kita mengharapkan kepada seluruh Rakyat Aceh dan Elemen Sipil lainnya, mari kita menjunjung tinggi semangat perdamaian yang telah tercapai di Aceh, jangan sampai perdamaian ini diganggu gugat oleh segelintir elit politik yang haus kekuasaan dengan mengorbankan darah rakyat aceh.



Demikianlah pernyataan sikap aksi damai dari kami, terima kasih atas segala perhatian dan kerjasamanya, semoga Aceh terus dalam semangat perdamaian demi kesejahteraan Rakyat Aceh.

Pasee, 18 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar