Minggu, 24 April 2011

Keputusan MK Antara Kesejahteraan Rakyat dan Kenikmatan Demokrasi

Bencana Tsunami yang terjadi di Aceh menjadi awal salah satu indikator dari perdamaian atas konflik yang sudah terjadi selama puluhan tahun di bumi serambi Mekah. Perjanjian damai yang diwujudkan dalam MoU Helsinki yang di tandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menjadi awal sejarah yang baru bagi perdamaian Aceh. Selanjutnya melalui landasan MoU Helsinki tersebut dituangkan kedalam kewenangan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006 yang disahkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2006 oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagaimana kita diketahui, pasca disahkannya UUPA No 11 Tahun 2006, pemerintah pusat berkewajiban menerbitkan sejumlah PP dan Perpres sebagai turunan pelaksana dari UUPA di Aceh. Namun turunan dari UUPA juga ada yang belum diterbitkan secara keseluruhan oleh Pemerintah Pusat, di antaranya PP Pengelolaan Migas (Minyak dan Gas), Perpres tentang Penyerahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Perangkat Daerah, dan lain-lain. Termasuk amanat UUPA tentang pembentukan pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Semua PP dan Perpres tersebut berkait langsung dengan pembangunan ekonomi dan proses reintegrasi di Aceh.

Situasi saat ini di Aceh menjelang pemilihan kepala daerah, Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 tanggal 30 Desember 2010 telah menetapkan calon independen dapat menjadi peserta Pilkada Aceh di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. Keputusan MK dimaksud ditetapkan sebagai jawaban atas gugatan judicial review atas Pasal 256 UU PA yang diajukan empat orang pemohon atas nama Tami Anshar Mohd Nur, Faurizal, Zaenuddin Salam dan Hasbi Baday dengan pengacara Mukhlis Muhtar, SH. Logika hukum efek dari keputusan MK tersebut, bahwa suatu produk hukum yang baru yang mengatur satu masalah yang sama dapat membatalkan produk hukum yang lama. Dengan demikian adalah logis jika pasal yang mengatur calon independen dalam UUPA tereduksi oleh putusan MK yang mengabulkan calon independen di Aceh, meskipun kekhususan Aceh dapat terus berlangsung.

Disisi lain situasi tersebut menjadi pro-kontra oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam hasil keputusan MK. Hal ini diilustrasikan atas tindakan kelompok yang berkepentingan seperti mendukung keputusan MK serta ada yang melakukan penolakan terhadap keputusan MK. Pro dan kontra tersebut mempunyai landasan kuat oleh masing-masing pihak berkepentingan dalam menerima dan menolak keputusan MK. Seperti kalangan yang mendukung keputusan MK dikarenakan atas keinginan terciptanya iklim demokratisasi politik di Aceh atas hak warga Negara dalam memilih dan dipilih melalui keikutsertaan rakyat dalam Pemilukada secara independen atau perseorangan demi menggapai tahta kekuasaan di Aceh. Dalam hal ini, demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem yang ideal yang dapat mengatur masyarakat dengan lebih adil dan mendorong kepada kesejahteraan juga sebagai sistem politik yang dinamis dan secara internal sangat beragam. Seorang teoritisi politik menjelaskan bahwa bahwa demokrasi setidaknya memiliki 10 keunggulan, yaitu menghindari tirani, menjamin hak asasi, menjamin kebebasan umum, menentukan nasib sendiri, otonomi moral, menjamin perkembangan manusia, menjaga kepentingan pribadi yang utama, persamaan politik, menjaga perdamaian dan mendorong terciptanya kemakmuran.

Namun dikalangan yang menolak keputusan MK juga mempunyai alasan yang kuat, hal ini dikarenakan putusan tersebut tidak mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang secara nyata telah memberikan keistimewaan penuh untuk Aceh, dimana dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) nomor 11 tahun 2006 telah mengamanahkan kepada pemerintah pusat agar setiap penerbitan produk hukum (Undang-Undang) baru atau penyesuai harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, seperti yang tercantum dalam UUPA dalam Bab Ketentuan Penutup Pasal 269 ayat 3, namun hal ini ternyata tidak dilakukan oleh Pemerintah Pusat terkait penghapusan pasal 256 UUPA, dan ini merupakan salah satu bukti Pemerintah Pusat yang mengangkangi hak-hak istimewa rakyat aceh pasca perdamaian. Sehingga dasar-dasar penolakan ini dianggap sangat jelas dan penting guna menjaga marwah kekhususan Aceh yang diperoleh pasca MoU Helsinki, jangan sampai sejarah aceh kedepan terulang kembali seperti sejarah ingkar janji Pemerintah Pusat era Soekarno terhadap Daud Beureueh.

Terlepas dari semua itu, cuma satu hal yang harus menjadi catatan dan renungan bagi kita semua, yaitu rakyat Acehlah yang tahu dan paham benar apa yang mereka inginkan saat ini. Jangan sampai keputusan MK tersebut justru akan berimbas negatif atas lahirnya demokrasi sesaat bagi rakyat nantinya, hal ini dikarenakan cacatnya proses pembentukan demokrasi atau anomali demokrasi di Aceh yang tidak diiringi pendidikan politik rakyat secara masiv atas pemahaman demokrasi rakyat, sehingga kesejahteraan rakyat hanya sebatas harapan saat menjelang Pemilukada dikarenakan euphoria demokrasi yang tercipta melalui iklm demokratisasi pasca keputusan MK dan perdamaianpun yang sedang dinikmati saat ini jadi terancam.

Harapan kita adalah Pilkada Aceh 2011 dapat berlangsung dengan lancar dan demokratis dengan tidak mengorbankan darah bangsa Aceh yang telah tiada. Disamping itu setelah pemilukada di Aceh, siapapun yang terpilih nantinya jangan sampai lupa memperjuangkan turunan UUPA, dimana Aceh sekarang ini yang sudah memiliki kewenangan yang begitu luas, sebagaimana disepakati dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA). Kalau UU-PA ini rapuh atau hilang kewenangan, ini yang mestinya di perjuangkan oleh semua pihak demi kesejahteraan rakyat. Sehingga perdamaian Aceh yang telah dibangun sejak MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dapat tetap dipertahankan dan amanat MoU Helsinki yang tertuang dalam UUPA dapat terimplementasi. Kita tidaklah sedang menciptakan sebuah Transformasi sosial, rakyatlah yang melakukan Transformasi social, yang kita lakukan adalah mendorong kesadaran rakyat menuju Transformasi sosial dan mempersiapkan momentum itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar