Jumat, 04 Februari 2011

Konstitusi untuk Rakyat

Oleh : Gede Sandra
Kelahiran Anak Pertama, Kedua, dan Ketiga
Kita sekarang menyusun Undang-undang Dasar. Alangkah keramatnya, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang terhormat, Undang-undang Dasar bagi suatu bangsa. Tidakkah Undang-undang sesuatu bangsa biasanya di dahului sebelum dia lahir, oleh pertentangan faham yang maha hebat, bahkan kadang-kadang oleh revolusi yang maha hebat, seringkali sesuatu bangsa melahirkan Undang-undang Dasarnya dengan sesungguhnya di dalam lautan darah dan lautan air mata? Oleh karena itu nyatalah bahwa Undang-undang Dasar sebenarnya adalah satu hal yang amat keramat bagi sesuatu rakyat, dan jika pun kita hendak menetapkan Undang-undang Dasar kita, kita perlu mengingat akan kekeramatan pekerjaan kita. Kita beberapa hari yang lalu memohon petunjuk kepada Allah swt, mohon dipimpin Allah swt mengucapkan: Rabbana. Ihdinashshiratal mustaqim, shiratal lazinanamta alaihim, ghoiril mahgdubi alaihim walabdhalin. Dengan pimpinan Alllah swt, kita telah menentukan bentuk daripada Undang-undang Dasar kita, bentuk Negara kita, yaitu sebagai yang tertulis atau sudah kita putuskan: Indonesia Merdeka adalah rancangan Undang-undang Dasar yang kita persembahkan ini bunyinya: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
(Kutipan pidato Bung Karno pada 15 Juli 1945)
Saat itu, 15 Juli 1945, dua bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Karno adalah ketua panitia Perancang UUD dan anggota BPUPKI dari golongan Timur Asing. Ia berpidato di hadapan para politisi negarawan sezamannya, yakni: Radjiman W., Prof. Soepomo, Drs. Muhammad Hatta, dan masih banyak lagi yang kesemuanya adalah Republikan terbaik di masa itu (masa Penjajahan Jepang). Dalam paragraf tersebut di atas, sangat jelas terlihat bagaimana Sukarno begitu mengkeramatkan Undang-undang Dasar (yang sebenarnya diketuai dalam suatu panitia kecil yang dipimpin oleh Prof. Soepomo, ahli hukum pertama yang dimiliki Republik). Sampai perlulah Sukarno mengucapkan sebuat ayat suci Islam untuk menggenapi bahwa negara Indonesia yang merdeka kelak adalah Kesatuan. Yang sebenarnya bermakna: Sukarno sangat gandrung akan kesatuan antara berbagai golongan (pluralisme/bhinneka)[1].
Sukarno, dan para negarawan di masa lalu, yang berpikir keras membuat Undang-undang Dasar 1945, kerap mengutamakan “persatuan dan kesatuan” di atas perbedaan pendapat di antara mereka sendiri, itulah yang menyebabkan para founding father’s kita ini dapat menuaikan tugasnya membuat Undang-undang Dasar yang “keramat” hanya dalam hitungan dua bulan!
Itulah perbedaan para politisi kita di masa sekarang dengan para politisi negarawan kita di masa lalu. Jika para politisi era Reformasi ini terus menerus asyik masgul bertengkar dalam upaya merampok negara[2], menumpuk kekayaan tanpa pernah menyerah, para founding father harus bergulat mental dalam pengawasan Kolonial Jepang dengan kantong yang pastinya kempes[3]. Pada masa Kolonial Jepang tersebut, ekonomi yang berlaku adalah ekonomi perang, sedangkan di era Reformasi ini Ekonomi Pasar sudah menjadi suatu agama baru. Itulah yang sepertinya menghasilkan perbedaan watak politisi di dua zaman tersebut (Zaman Jepang dan Reformasi): Keras dan Lembek[4]. Ekonomi perang membuat politisi kita keras, ekonomi pasar membuatnya lembek. Kurang berintegritas dan displin. Dalam opini pun mereka (para politisi) lebih kerap berbicara irelevan dari kenyataan hidup rakyat yang mereka wakili[5].
Bagaimana cara membuat yang lembek menjadi keras, jika tidak wataknya/kepalanya kita isi terus dengan ideologi/falsafah yang tepat tentang negara: Pancasila. Bukanlah Pancasila yang dipahami dari sudut Orde Baru (1967-1998), melainkan Pancasila yang juga dipidatokan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945. Maka itu, teks Pancasila yang harus sering dicenungkan adalah muatan dari segenap falsafah negara usulan Bung Karno yang disetujui oleh BPUPKI pada 1 Juni 1945.
Pancasila, sebuah teks yang lahir 2,5 bulan menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia- orisinil gubahan Sukarno[6]- saat memaparkannya ia menjelang usianya yang ke-44. Sebulan kemudian, pada usia 45 tahun Sukarno pula yang memimpin pembuatan UUD 1945, sebulan kemudian pada 17 Agustus 1945 Sukarno pula lah yang membacakan Proklamasi (Hatta memperhatikan dari kejauhan)- masih pada usia 45 tahun. Pada usia menjelang senjanya, Bung yang jenius ini berhasil melahirkan “anak”[7] berturut-turut tiga kali. Ketiga anak tersebut pulalah yang mengiringi Republik sepanjang 65 tahun umur Republik ini. Sukarno, seorang intelektual, orator, seniman, insinyur, negarawan handal yang jatuh pada 1966 karena tidak ingin keretakan NKRI tercintanya mensunyata, akhirnya meninggal dalam pencekalan pada usia 69 tahun (1970). Suharto selama 32 tahun, sampai Yudhoyono di tahun ke-7 nya sekarang ini masih terus “berusaha”  menjaga Pancasila, UUD 1945, dan Proklamasi dengan beberapa koreksi. Siapa yang sangka, meski masih mengamankan ketiga anak Sukarno terebut, koreksi yang dilakukan oleh Suharto dan Yuhoyono sekarang adalah kemiskinan (oleh sebab pemiskinan) dan kebodohan (oleh sebab pembodohan) massal di tengah rakyat.
Kembalikan Kedaulatan Rakyat.
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang terhormat! Kita rancangkan Undang-undang Dasar dengan Kedaulatan Rakyat, bukan kedaulatan individu.
Kedaulatan Rakyat sekali lagi, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut faham Panitia Perancang Undang-undang Dasar, satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari. Jikalau faham kita ini pun dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itu akan memberi jaminan akan perdamaian dunia yang kekal dan abadi.
(Kutipan Pidato Sukarno, Ketua Panitia Perumus UUD 1945, pada 15 Juli 1945)
Koreksi terjadi karena teramat dalamnya mental individualisme atau liberalisme (neoliberalisme) menyusup masuk dalam konstitusi kita, meski Pancasila terus hadir menjadi pengawas (setelah hancur berkeping dalam lumpur setelah dikambinghitamkan karena malpraktik Orde Baru terhadap demokrasi bernama Pancasila). Masuknya hukum neoiberalisme dalam bentuk perangkat hukum perundangan kita tidak kunjung mendapat koreksi keras. Seharusnya para ekonom segera sadar, bahwa ujung pangkal berbagai penderitaan ekonomi-politik-budaya yang tengah dirasa oleh rakyat Indonesia di tahun 2011 sekarang sejatinya adalah sebab menyusupnya liberalisme dalam alam pikir negara, yang tersembunyi dalam 76 UU strategis bentukan DPR-RI periode 1999-2009[8].
Lalu mengapa rakyat tidak sadar akan keberadaan UU haram tersebut? Ini tidak lain disebabkan masih banyaknya londo ireng di kalangan politisi dan ekonom tanah air yang kerap melakukan ilusi terhadap rakyat. Problem pokok ekonomi kerakyatan, yakni deindustrialisasi adalah kado terbaik neoliberalisme yang belakangan amat deras dihadiahkan Yudhoyono. Naiknya operator tercinta dari grup neoliberal IMF dan Bank Dunia, Tuan Boediono yang bermasalah[9], sebagai Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah “berkah untuk korporasi, bukan untuk pribumi”. Londo ireng lain yang masih murid Boediono[10], Sri Mulyani Indrawati, harus menjalani pengasingan sekaligus jadi “TKI” di Bank Dunia dan bersiap come back pada 2014 ke pentas politik tanah air. Publik pun menanti kembalinya sang ratu londo ireng.
Ekonomi politik rakyat Indonesia sepanjang 2004-2010 diatur oleh pasangan londo ireng Boediono dan Sri Mulyani Indrawati (SMI). Boediono dan SMI juga menjadi saksi hidup pencurian uang dan deindustrialisasi di tanah air. Oleh kedua teknokrat kanan ini, puluhan sampai ratusan kebijakan neoliberal ditanda tangani dan dipastikan keamanannya. Harus disadari, tangan mereka penuh darah dan nanah seratusan juta lebih rakyat miskin yang menjadi korban neolib. DI tangan para londo ireng ini pun kedaulatan rakyat terinjak-injak.
Di saat kedaulatan rakyat tertindas oleh individualisme/liberalisme/neoliberalisme, sudah layaklah bila gerakan melawan. Gerakan harus dapat merebut kembali kedaulatan rakyat, demi menuju kemakmuran yang dipercita-citakan oleh Pancasila dan Preambule UUD 1945: sebuah masyarakat yang toto, titi, tenterem, kertorahardjo.  Bung Karno jelas menggaris bawahi, bahwa UUD 1945 haruslah bernafaskan kedaulatan rakyat, bukan individualisme. Maka, oleh karena individu-individu DPR tidak dapat lagi dipercaya benar-benar mewakili rakyat, sudah waktunya lah itu rakyat itu sendirilah yang harus berdaulat proses politik partisipatifnya dalam sistem one men one vote. Biarkanlah 170an juta orang kembali membubuhkan cap jempolnya dalam sebuah referendum nasional. Menurut kami, dalam keadaan tertentu yang khusus, pun demi alasan mengembalikan kedaulatan rakyat, dapat saja kita desak Presiden untuk mengeluarkan dekrit untuk segera dilaksanakannya suatu referendum[11] (tentunya bukan referendum memisahkan diri dari NKRI dan memalingkan pandangan dari filsafat Pancasila) yang berisikan poin-poin tersebut di bawah:
1.       Apakah rakyat ingin agar seluruh amandemen yang pernah ada dibatalkan (kembali ke UUD 1945 secara murni) atau;
2.       Apakah rakyat ingin agar proses amandemen dilanjutkan dengan catatan seluruh UU yang berbau neolib[12] ditanggalkan atau;
3.       Apakah rakyat ingin agar Indonesia memiliki Konstitusi Baru (menuju Indonesia Baru)
Jelas ketiga pilihan di atas memberikan konsekuensi yang berbeda-beda. Jika ternyata mayoritas dari 170an juta rakyat memilih poin 1, maka dapat kita simpulkan ternyata rakyat ingin sejarah berulang (kembali pada 5 Juli 1959) yang berkonsekuensi pada menguatkan posisi lembaga presiden dan militer, parlemen hanya stempel. Jika ternyata pilihan rakyat jatuh pada poin 2, maka dapat kita maknai bahwa masyarakat kebanyakan sudah cukup puas dengan sistem konstitusi saat ini, hanya perlu koreksi terhadap neoliberal. Namun, jika akhirnya rakyat ternyata memilih poin yang ke 3, maka kita layak bersyukur, ternyata kebanyakan dari rakyat kita sudah berpikiran maju, mulai percaya diri menatap masa depan menuju Indonesia yang baru dengan tetap teguh dalam bingkai teritorial NKRI dan pengawasan Burung Garuda Pancasila.

Rakyat Membuat Konstitusinya
Kita ingat, bagaimana Para founding father kita dapat melakukan rally, lembur tiap malam, menyelesaikan konstitusi sebuah republik muda hanya dalam waktu 2,5 bulan (15 Juli-18 Agustus 1945). Saat itu, karena di pertengahan tahun 1945 tersebut kebanyakan rakyat Indonesia sedang dimobilisasi untuk sistem ekonomi perang Kolonial Jepang, hanya para founding father “terpilih” tersebutlah yang dapat bekerja menyusun undang-undang dasar (yang tentu di bawah pengawasan Administrasi Kolonial Jepang). Sangat sulit terpikir saat itu untuk terselenggaranya sebuah metode pembuatan konstitusi yang lebih partisipatif bagi rakyat. Kini, 65 tahun setelah itu situasinya sangat berbeda.
Indonesia dapat saja mencontoh praktek-praktek politik terpuji yang terjadi di Amerika Latin, seperti di Venezuela, tentang bagaimana (pada tahun 1999) dua puluhan juta rakyat Venezuela menulis keinginannya masing-masing tentang apa yang harus diatur untuk kesejahteraan mereka dalam sebuah surat, kemudian surat itu dikirimkan kepada suatu majelis konstituante yang bertugas mengintisarikan seluruh keinginan rakyat tersebut ke dalam pasal-pasal draft calon konstitusi baru. Kemudian draft tersebut kembali direferendumkan, apakah disetujui menjadi konstusi baru atau tidak oleh rakyat Venezuela. Dan akhirnya saat itu, terkuaklah, bahwa ternyata hampir 60% rakyat menginginkan adanya suatu konstitusi baru yang dapat lebih menjawab berbagai persoalan mereka.
Memang sejarah Indonesia modern juga mencatat, bahwa pada tahun 1950-1959 pernah didirikan majelis konstituante juga, yang memang disayangkan tidak dapat bekerja efektif karena proses politik parlemennya buruk (bahkan berekses pada upaya Separatisme pada 1957-1959). Dan akhirnya, karena pembenaran “tidak efektif” tersebut jualah, dengan dukungan militer dan PKI, Sukarno berani membubarkan parlemen. Ini adalah noda hitam dalam proses perjalanan demokratisasi rakyat. Sukarno menjadi diktator politik, Suharto hanya meneruskan.
Maka harus kita tetapkan dalam hati, bahwa sejarah ada untuk dipelajari dengan hikmat, bukan malah tanpa kebijaksanaan terus mengulangi keburukan padanya. Dalam kasus Indonesia saat ini, untuk menghukum parlemen, tidak perlu kita bubarkan parlemen. Hanya perlu kita bekukan saja mereka sepanjang majelis konstituante bekerja. Setelah parlemen dicutikan, barulah Majelis Konstuante didirikan, tentu dengan berbagai catatan. Semisal: 1. Majelis konstuante tersusun atas 1000 orang perwakilan aktivis gerakan, LSM, cendekia, dan budayawan.; 2. Majelis konstituante bekerja tidak lebih dari 3 bulan; 3. Dan sebagainya-dan sebagainya. Alhasil hanya dengan demikianlah rakyat dapat memiliki kontitusinya sendiri. Mari, kita dapat bekerja lebih baik daripada para founding father. Karena hanya dengan begitulah kita dapat meneruskan semangat anti penjajahan mereka.

[1] Sukarno adalah keturunan Ibu Bali dan Ayah Kebatinan Jawa (Kejawen), namun ia selalu berkata di setiap kesempatan, bahwa jika kelak ia meninggal, Bung Karno ingin dikuburkan dengan Bendera Muhamaddiyah menyelimuti di atas peti matinya. [2] Pendiri Yayasan Nation Building (Nabil) Eddie Lembong pernah menjuluki gedung parlemen sebagai “sarang penyamun”.
[3] Namun pasti lebih baik dibanding kebanyakan rakyat yang kelaparan dan mati (alamiah atau seba Romusha).
[4] Karena bermental lembek alias tempe itulah juga, kinerja (produktivitas) para politisi parlemenpun memburuk. Semisal soal target Prolegnas DPR-RI tahun 2010 yang hanya terpenuhi 14 UU dari target sekitar 70 an UU yang harus dikejar. Yang menyeruak malah nafsu plesiran anggota DPR ke luar negeri dan bolos.
[5] Maka aneh jika masih terdapat anggota DPR yang kurang ajar dalam beropini, namun tidak juga direcall partainya, seperti misal Ruhut Sitompul (Fraksi Demokrat). Atau yang jelas-jelas disfungsi sebagai anggota dewan, seperti Nudirman Munir (Fraksi Golkar) yang malah berdagang sembari melakukan kunjungan kerja- padahal yang bersangkutan adalah perwakilan Partai Golkar dalam Badan Kehormatan DPR.
[6] Bukan Moh. Yamin seperti didengungkan oleh versi sejarah Orde Baru.
[7] Anak saya gunakan di sini untuk pengidentikkan. Kita paham bahwa teks UUD 1945 beserta penjelasan. Begitupun teks Proklamasi, sangat melekat pada figur Sukarno- sehingga khalayak melihat sudah seperti anak-anaknya sendiri. Meski kitapun sebenarnya tahu bahwa teks UUD 1945 dibuat secara kolektif oleh panitia yang diketuai Prof Soepomo sedangkan Teks Proklamasi diketikkan oleh Sayuti Melik
[8] Data ini disampaikan oleh anggota DPR-RI fraksi PDI-P Eva Kusuma Sundari dalam berbagai media nasional tahun lalu.
[9] Karena, sebagai pejabat keuangan negara, dikabarkan terkait langsung dengan kerugian negara dan rakyat akibat Skandal BLBI dan Century
[10] Londo ireng Boediono akhir-akhir ini bertingkah lucu dengan semakin getol mencitrakan dirinya identik dengan Sukarno. Seharusnya rakyat sadar benar bahwa Boediono sudah menjadi petinggi di Bank of America sejak tahun 1969.
[11] Belum lama ini di penghujung 2010 kita melihat bagaimana pemerintahan Slovenia sepakat melaksanakan refrendum rakyat untuk memutuskan apakah perlu membangun sebuah pembangkit nuklir atau tidak.
[12] Sebelum melaksanakan referendum harus ada penyuluhan yang berisikan informasi praktis tentang bahaya neoliberalisme bagi rakyat Indonesia calon pemilih

Sumber: http://berdikarionline.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar